Laman

Selasa, 22 Oktober 2013



Kearifan Lokal; Nilai Jaga Pertanian Babel

Oleh:
Ridwan Diaguna
Mahasiswa Jurusan Agroteknologi Universitas Bangka Belitung – Penggiat The Ilalang Institute
Tatanan masyarakat Babel seutuhnya menggambarkan persis akan apa yang diwariskan pendahulunya. Masyarakat Babel pada umumnya mewarisi suatu pemahaman dan pengetahuan tersendiri dalam melihat  serta memperlakukan sesuatu. Hal tersebut mereka wujudkan dan praktekkan dalam setiap tindak laku yang berakhir kepada kebiasaan arif dan bijaksana terhadap lingkungannya, itulah yang kita kenal bersama dengan nilai-nilai kearifan. Sebuah tatanan nilai-nilai yang harus terus dipelihara sebagai sebuah nilai-nilai kebaikan yang dihidup ditengah-tengah masyarakat sebagai khasana kearifan lokal.
 Sebuah kearifan yang sangat menarik dan tentunya bernilai manfaat besar untuk dilestarikan dan terus dijaga konsistensinya. Bagaimanakah kaitan nilai-nilai kearifan ini jika dikaitkan dengan warisan ekonomi pendahulu masyarakat Babel?. Sedari kita ketahui bersama bahwa masyarakat Babel sejak dahulu sudah diwariskan nilai-nilai bertani yang sangat  baik sebagai kearifan lokal dalam dunia pertanian. kearifan berekonomi mengandalkan sektor pertanian dengan menggabungkan komoditi perkebunan karet dan lada.
Namun saat ini kearifan tersebut sudah hampir ditinggalkan masyarakat dan terkesan telah hilang tak berbekas. Pertanyaannya, bisakah nilai-nilai kearifan ini kembali sebagai penopang utama ekonomi dan perlahan meninggalkan sektor tambang yang menyumbang penurunan kualitas lingkungan yang sangat besar.
Nilai-nilai kearifan ini perlahan mulai terlupakan, kenyataan memperlihatkan keprihatinan kita bersama bahwa masyarakat Babel terlibat aktif dalam kegiatan menurunkan kualitas lingkungan. Akhirnya menjadi sangat penting melibatkan petani sebagai upaya mengembalikan dan melestraikan nilai-nilai kearifan lokal. Petani berperan sangat besar untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam dunia pertanian.
Memang tidak bisa dipungkiri juga bahwa derasnya ekspansi perkebunan sawit turut andil didalam melemahkan kearifan lokal ini. Padahal memungkinkan sekali ekspansi ini  hanya akan mempertegas dan membuat nyata kekhawatiran kita bersama selama mengenai petani di Babel. Ekspansi yang berakhir menjadikan bertani seperti pada masa penjajahan karena menjadi buruh di tanah sendiri.
 Masyarakat seolah dipaksa dengan halus untuk terus meninggalkan karet-lada, dengan ketidakberpihakkan kebiijakan  pemerintah. Bentuk ketidakberpihakkan ini bisa kita liat dengan muda mulai dari ketersediaan bibit, pupuk, penjualan hasil hingga dengan mudahnya perizinan perkebunan swasta besar dikeluarkan untuk menguasai dan merebut setiap jengkal tanah yang dimiliki petani. Lebih celakanya, terkadang pemutus kebijakan ini acap sekali tidak konsisten dengan program-program yang telah mereka susun dan laksanakan.
Keadaan ini semua tentu semakin memperburuk citra pertanian dimata generasi muda. Sehingga muncullah persepsi baru bahwa berprofesi menjadi petani adalah salah satu bentuk kegagalan. Tidaklah mengherankan jikalau saat ini generasi muda tidak lagi banyak dilirik oleh generasi muda dan banyak ditinggalkan, bahkan jikalau ada hanya sebagai sambilan.
Masyarakat lebih memilih menjadi buruh tambang timah atau pekerjaan yang lain karena mereka beranggapan pekerjaan itu lebih menjanjikan dan tak beresiko merugi dibandingkan jika mereka menjadi petani. Apabila keadaan ini dibiarkan terus-menerus terjadi, maka krisis brand Bangka Belitung “Mentok white peper” akan semakin parah karena bumi serumpun sebalai ini tak lagi mampu memproduksi lada putihnya. Mau tak mau, pemangku kebijakan Babel harus mengantisipasi secara serius berbagai peringatan tersebut. Tanpa antisipasi yang serius, boleh jadi gejolak krisis atau bahkan hilangnya lada putih ini akan menjelma menjadi bola liar yang sangat membahayakan kelangsungan hidup hajat hidup masyarakat banyak di Babel.
Satu-satunya jalan keluar atas masalah diatas adalah merekonstruksi secara perlahan arah pembangunan ekonomi lokal daerah. Bangka Belitung dalam hal ini pemangku jabatan berkepentingan harus sesegera mungkin menjadikan kembali sektor pertanian sebagai lokomotor penggerak perekonomian lokal negeri timah. Pemangku keputusan negeri ini sudah harus berpikir keras menyiapkan sebuah formula solutif. Berikut sedikit ulasan dan paparan gagasan berpikir penulis sebagai salah satu generasi yang dilahirkan ditengah-tengah keluarga berprofesi petani.
 Tata Laku Tani Hijau
Bertata laku tani berbasiskan kearifan lokal yang dimiliki bisa menjadi pilihan realistis meghadapi realitas yang ada. Keterlibatan aktif pemegang tanpuk kebijakan sangat besar perannya dalam mewujudkan gagasan ini. Tata laku tani hijau mejadi sebuah keharusan agar petani menjadi mandiri dan tidak mengrurangi tingkat ketergantungan akan pupuk kimia dan pestisida/herbisida/fungisida sintetis. Pemanfaatan beberapa daun tanaman lokal bisa menjadi solusi pengendalian hama dan penyakit pada tanaman yang dibudidayakan, contonhyan daun sirih, pepaya, merapin, serta ekstrak jahe yang saat ini banyak diteliti dibeberapa perguruan tinggi. Hasil-hasil penelitian pada perguruan tinggi ini bisa diberikan kepada petani melalui bantuan pemerintah (Penyuluh) untuk membantu petani, memberikan kesempatan Perguruan Tinggi melaksanakan Dharma Bakti serta mewujudkan konsep tata laku tani  hijau.
Mengutamakan Karet-Lada
Mendukung pola pertanian berbasiskan perkebunan karet dan lada menjadi besar manfaatnya. Pola pertanian ini penulis pikir menjadi sebuah pola tepat untuk mengatasi permasalahan petani mengenai modal dalam membudidayakan ladanya. Melalui pola ini, petani akan beraktivitas pada kebun karetnya mulai pagi hari untuk menyadap karet hingga pertengahan hari, untuk kemudian dilibatkan sampai sore untuk merawat kebun ladanya. Solusi cantik dan indah yang sebenarnya telah mengakar dikehidupan masyarakat Babel sebagai warisan kearifan lokal.
Melalui pola ini petani akan menjadikan kebun karetnya menjadi sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya yang bersifat pokok serta membiayai usaha kebun ladanya. Hal ini terus dilakukan, hingga saat kebun ladanya panen, hasil panen ini akan dijadikan sumber pendapatan untuk kebutuhan sekunder serta tersier. Pendapatan dari kebun lada inilah yang akan dijadikan sebagai modal untuk menyekolahkan anak, membangun rumah, membeli kendaraan (sepeda motor ataupun mobil), serta kebutuhan lainnya. Bisa disimpulkan bahwa melalui pola ini petani menjadikan kebun lada yang mereka usahakan sebagai investasi dari hasil kebun karet.
Untuk mewujudkan suksesnya pola ini tentu bergantung sekali kepada peran besar yang ada di tangan pemangku kebijakan. Peran besar ini berupa kebijakan unutk memberikan jaminan kepastian harga jual yang menguntungkan bagi produk yang dihasilkan petani (karet-lada). Kepastian harga jual yang memadai akan berpengaruh sangat signifikan terhadap kegairahan petani dalam mensukseskan pola ini. Nilai manfaat yang diperoleh selain mengembalikan sektor pertanian sebagai lokomotif utama sokong perekonomian lokal, tentunya juga seklaigus mengembalikan eksistensi perkebunan lada dan brand Bangka Belitung “Mentok White Peper” di perdagangan internasional.
Semoga apa yang penulis gagas dan ulas menjadi sebuah bahan perenungan bersama. Kita semua tentu berkeyakinan sama bahwa kaerifan lokal yang melekat pada sektor pertanian akan sangat mampu dan apik untuk menjadikan kembali pertanian jadi sokong utama perekonomian lokal kita. Semoga saja.



Bijak Ekstensifikasi;
(Salah Kaprah Ekstensifikasi Pertanian)

Oleh : Ridwan Diaguna
Mahasiswa Jurusan Agroteknologi – Universitas Bangka Belitung
Sektor pertanian memang menjadi masalah yang memerlukan perhatian yang sangat serius, mendalam dan kesungguhan disertai program bagus dan kinerja apik. Tahun ke tahun masalah pertanian semakin serius dibicarakan, hal ini dikarenakan pertambahan populasi penduduk yang tidak sesuai dengan pertumbuhan areal pertanian untuk memenuhi kebutuhan akan produk pertanian. Kebutuhan akan produk pertanian menjadi sangat penting dalam semua aktiftas manusia, tanpa hasil pertanian manusia tidak akan bisa beraktifitas maksimal dengan tenaganya (fisik), pikirannya (otak) serta rohaninya (religi).
Pemerintah menyadari betul akan titik masalah yang harus segera diselesaikan ini, upaya pemenuhan dan peningkatan produksi produk pertanian pun tak luput dilakukan. Upaya ini dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi. Kedua upaya ini di yakini betul oleh pemegang dan pemutus kebijakan mampu memenuhi kebutuhan besar masyarakatnya akan eksistensi produk pertanian untuk kelangsungan kehidupan.
Sejauh ini, yang sangat kentara sekali di rasakan di tengah-tengah masyarakat adalah melalui upaya ekstensifikasi. Ya, ekstensifikasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan urgensi akan hasil pertanian dengan melakukan perluasan areal pertanian ke wilayah yang belum dimanfaatkan manusia.
Menjadi penting kiranya untuk melihat dan mempertimbangkan pelaksanaan ekstensifikasi ini dalam upaya  memastikan keberlanjutan dan keseimbangan ekologis? Kita tentu tidak merestui dan merelakan ekstensifikasi yang dilakukan hanya sekedar untuk memperkaya korporasi yang akan menjadikan pribumi menjadi buruh di negeri sendiri. Karena kita tidak bisa memungkiri ekstensifikasi ini akan menimbulkan dampak banyak aspek dalam kehidupan.
Pembukaan lahan areal pertanian baru di sejumlah daerah di Bangka Belitung saat ini menjadi bukti nyata usaha ekstensifikasi. Selain ekstensifikasi lahan pertanian pangan, ekspansi ekstensifikasi perkebunan swasta sangat nyata sekali dirasakan dalam penggunaan lahan baru yang cenderung tidak lagi arif dan bijaksana. Menurut hemat penulis ekstensifikasi bisa dilakukan tidak hanya melalui program kementerian. Selain mengikuti program pemerintah esktensifikasi juga bisa dilakukan secara perorangan secara mandiri, berkesinambungan dan tidak luput peran pemerintah dalam melakukan pengawasan. Kita tentu  bertanya, spesifiknya ekstensifikasi itu apa?
Ekstensifikasi
Ekstensifikasi pertanian dalam hal ini pangan banyak sekali macamnya tergantung tempat dan lahan yang akan digunakan. Pada dasarnya, perluasan areal ini ditujukan untuk memperoleh hasil produksi pertanian yang memadai serta memanfaatkan potensi lahan yang belum termanfaatkan. Intinya adalah optimalisasi potensi areal untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Ekstensifikasi ini dapat dilakukan dengan pembukaan hutan baru, pembukaan lahan kering, serta pembukaan lahan gambut. Ekstensifikasi dengan metode pembukaan hutan baru sudah tidak asing lagi dalam dunia pertanian karena sudah diterapkan jauh sebelum peradaban modern saat ini  yakni metode pertanian ladang  berpindah. Ekstensifikasi lainnya dapat dilakukan dengan  memanfaatkan lahan kering untuk di buka menjadi lahan baru pertanian, resikonya membutuhkan teknis pengolahan dan biaya yang lebih intensif. Selain kedua cara ini, ekstesifikasi juga bisa dilakukan dengan pembukaan lahan gambut yang sangat subur dan berair (penerapannya di Sumatera dan Kalimantan).
Dampak Ekstensifikasi
Terlepas dari tingginya akan permintaan terhadap kebutuhan akan hasil pertanian untuk memastikan kelangsungan hidup masyarakat, kita juga perlu menyadari dampak negatifnya. Selain dampak positif berupa peningkatan produksi pertanian juga ada dampak negative yang akan ditimbulkan dari ekstensifikasi ini. Rusaknya ekosistem pada lahan-lahan tertentu dan berkurangnya habitat alami hewan di alam menjadi dampak yang paling serius akan kita hadapi akibat ekstensifikasi yang salah kaprah.
Pembukaan lahan-lahan belum termanfaatkan (hutan, lahan gambut) untuk basis daerah pertanian baru tentunya akan merubah bahkan merusak tatanan keseimbangan ekosistem disekitarnya. Kegiatan bercocok tanam serta pemukiman baru petani tentunya akan berdampak kepada terganggunya populasi dan hewan di sekitar areal tersebut. Selain itu peran hutan sebagai sumber produksi oksigen terbesar bagi kehidupan akan ikut terpengaruh. Seperti kita ketahui bersama betapa besarnya peran hutan-hutan tersebut sebagai penyerap karbon dan produksi oksigen.
Dampak negative lainnya berupa terganggunya habitat hewan yang tinggal dan hidup di alam, atau bahkan tersingkir ke tempat (habitat) yang lebih jauh. Tidak mengherankan sekali jika banyak hewan-hewan liar yang masuk  dan mengganggu tanaman budidaya pada areal budidaya, hal ini dikarenakan mereka kelaparan dan hilangnya habitat mereka oleh ekstensifikasi gelap mata ini.
Oleh karenanya besar harapan penulis agar pemegang tampuk kebijakan lebih arif dan bijak dalam merestui agenda ekstensifikasi ini. Jangan sampai pemilik tanda tangan perizinan dengan getolnya membubuhi tanda tangan pertanda restu ekstensifikasi yang mengarah menguntungkan pemodal dan cenderung mengganggu keberlanjutan ekosistem demi kemakmuran beberapa korporasi. Hendaknya lah “ngebukak utan” ini dilakukan  dengan memperhatikan keseimbangan dan keselarasan perubahan alam maupun ekosistem yang ada, sehingga ekstensifikasi ini menjadi bermanfaat dan tidak merusak alam sehingga ekstensifikasi pertanian tidak lagi disalah kaprahkan.

Rabu, 20 Juni 2012


I . PENDAHULUAN

I.I.Latar Belakang
Dalam budidaya secara hidroponik, tanaman mendapatkan makanan atau nutrisi dari larutan yang disiramkan pada media tanam. Dengan demikian tanaman tetap mendapatkan nutrisi untuk pertumbuhannya. Larutan pupuk atau nutrisi yang disiramkan pada media bias bermacam-macam.
Rakit apung atau Floating hidroponik sistem (FHS) adalah salah satu sistem budidaya secara hidroponik tanaman (sayuran, terutama) dengan cara menanam tanaman pada lubang styrofoam yang mengapung di atas permukaan larutan nutrisi dalam bak penampung atau kolam sehingga akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi. Karakteristik system ini antara lain adalah terisolasinya lingkungan perakaran sehingga fluktuasi suhu larutan nutrisi akan lebih rendah.
Pada sistem ini larutan tidak disirkulasikan, namun dibiarkan tergenang dan ditempatkan dalam suatu wadah tertentu untuk menampung larutan tersebut. Dengan demikian sistem ini dapat dimungkinkan tanaman akan kekurangan oksigen, yang nantinya akan merubah pH larutan. Dengan berubahnya pH larutan maka akan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik karena penyerapan nutrisi oleh tanaman kurang optimal.

1.1  Tujuan
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam melaksanakan salah satu model dalam teknologi budidaya sayuran secara hidroponik.




II . TINJAUAN PUSTAKA
Floating hidroponik sistem (FHS) adalah budidaya tanaman (terutama sayuran) dengan cara menanam tanaman pada lubang styrofoam yang mengapung di atas permukaan larutan nutrisi dalam bak penampung atau kolam. Dalam sistem ini akar tanaman teremdam dalamm larutan nutrisi ( Hartus , 2007 )
Teknik hidroponik sistem rakit apung adalah menanam tanaman pada suatu rakit yang dapat mengapung di atas permukaan air atau nutrisi dengan akar menjuntai kedalam air. Styrofoam diambangkan pada kolam larutan nutrisi sedalam kurang lebih 30 cm. Pada styrofoam diberi lubang tanam dan bibit ditancapkan dengan bantuan busa atau rockwool ( Sutiyoso , 2003 ).
Pada sistem FHS larutan nutrisi tidak disirkulasikan, namun dibiarkan pada bak penampung dan dapat digunakan lagi dengan cara mengontrol kepekatan larutan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini perlu dilakukan karena dalam jangka yang cukup lama akan terjadi pengkristalan dan pengendapan pupuk cair dalam dasar kolam yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Sistem ini mempunyai beberapa karakteristik seperti terisolasinya lingkungan perakaran yang mengakibatkan fluktuasi suhu larutan nutrisi lebih rendah, dapat digunakan untuk daerah yang sumber energi listriknya terbatas karena energi yang dibutuhkan tidak terlalu tergantung pada energi listrik (mungkin hanya untuk mengalirkan larutan nutrisi dan pengadukan larutan nutrisi saja) (Falah, 2006).
Selain harus tetap menjaga sirkulasi larutan nutrisi juga perlu diperhitungkan konsentrasi larutan nutrisi karena hal tersebut sangat mempengaruhi perkembangan tanaman. Konsentrasi larutan nutrisi dapat diperoleh dengan mengetahui nilai EC (Electric Conductivity). Nilai EC dapat didapat dengan cara mengukur nilai resistensi pada larutan nutrisi. Tidak hanya kelangsungan sirkulasi larutan yang memegang peranan penting tetapi juga konsentrasi larutan dapat diketahui dengan mengukur nilai EC ( dengan menggunakan EC meter ) ( Ridho’ah dan Hidayati , 2005 ).



III . METODE PELAKSANAAN
3.1. Tempat dan Waktu
Praktikum hidroponik sistem rakit apung bertempat di greenhouse Fakultas Pertanian Universitas Bangka Belitung Terpadu bertempatkan areal lahan praktek budidaya.
3.2 . Alat dan Bahan
Bahan  : Bibit Sawi, kangkung, larutan nutrisi, kotak kayu/bak plastik ukuran (p x l x t) 50 cm x 50 cm x 15, talang air V, steroform, rockwoll/kapas saringan ikan, pompa/filter kolam ikan, pipa paralon, baskom, bak perkecambahan, sekam bakar, rak kayu, terpal/plastik, paku, gelas mini plastik agar-agar, ember tertutup.
Alat     : Gergaji, gunting, pisau cutter, handsprayer, centong, pinset.
3.3 Cara Kerja
1. Siapkan tempat untuk menanam tanaman berupa bak kayu/bak plastik/baskom. Jika menggunakan bak kayu, lapisi bak tersebut menggunakan plastik terpal.
2. Siapkan steroform dengan ukuran p x l lebih kurang hampir sama dengan bak penanaman dan tebal 1,5-2 cm.
3. Letakkan bak tersebut pada rak kayu dengan ketinggian 50-80 cm.
4. Semai benih tanaman menggunakan rockwoll yang telah dipotong ukuran 1,5 cm x 1,5 cm x 1,5 cm pada bak perkecambahan.
5. Bibit bayam, sawi dan kangkung dapat dipindahkan setelah 5-7 hari setelah semai.
6. Lubangi streoform yang telah disiapkan berdiameter + 1 cm atau tidak harus sama dengan media semai dengan jarak antar lubang 15 cm x 15 cm menggunakan pipa PVC ½”.
7. Masukkan air mineral dengan volume 1/3 dari volume bak yang telah dicampur dengan larutan nutrisi (2 ml/liter air) ke dalam bak penanaman.
8. Masukkan rockwoll dan bibit pada lubang steroform, usahakan tidak goyang dan bibit tidak pecah.
9. Setelah seluruh lubang telah ditanami bibit, letakkan streoform pada bak penanaman dengan posisi ketinggian maksimal 1/3 bagian akar terendam air.
10. Lakukan penambahan volume larutan air dan nutrisi yang telah dipersiapkan setiap 90 menit sekali pada pagi hingga sore hari (07.00 – 18.00) secara rutin dan terus menerus.
11. Siram bagian atas tanaman menggunakan handsprayer pada pagi dan sore hari.
12. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan jaring jala halus. 

















IV . HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Tabel. hasil pengamatan hidroponik rakit apung.
Waktu
Media
Ulangan
Tinggi
(Cm)
Jumlah Daun (Helai)
7 Maret
2012
Bak A
1
11
2
2
7
2
3
9
1
4
8
2
5
7,5
3
6
7,5
2
Rata-Rata
8,3
6
Bak B
1
6,5
1
2
6,5
2
3
9
1
4
7,5
2
5
7,2
2
6
10
2
Rata-Rata
7,78
5,5
14 Maret 2012
Bak A
1
10
3
2
8
4
3
11
4
4
8
3
5
7,5
4
6
10,5
3
Rata-Rata
9,2
3,5
Bak B
1
9,8
3
2
6,8
2
3
8,2
2
4
6,9
2
5
7,2
4
6
8,8
3
Rata-Rata
7,95
2,7
20 Maret 2012
Bak A
1
10
6
2
6
2
3
-
-
4
6
2
5
6,5
6
6
6
3
Rata-Rata
5,75
3,2
Bak B
1
8
2
2
8
4
3
11
6
4
3,5
4
5
5
3
6
8
4
Rata-Rata
7,25
3,8
Bak A = Berat basah sawi
              Berat kering sawi = 4,6/6 = 0,76 gram
Bak B = Berat basah sawi
              Berat kerig sawi 1,2/3 = 0,4 gr


4.2. Pembahasan :
            Dari pengamatan kelompok kami diketahui bahwa  yang dibudidayakan dengan hidroponik apung adalah baik pada saat awal perlakuan kemudian minggu kedua dan ketiga perkembangan tanaman sawi tumbuh dengan baik, tetapi pada saat minggu keempat budidaya tanaman hidroponik apung pada tanaman sawi kami ada yang mati.
Kualitas larutan nutrisi dapat diketahui dengan mengukur electrical conductivity (EC). Semakin tinggi konsentrasi larutan semakin tinggi arus listrik yang dihantarkan karena pekatnya kandungan garam dan akumulasi ion mempengaruhi kemampuan untuk menghantarkan listrik larutan nutrisi tersebut. Pada budidaya kailan ini EC kita 1,8 dan pH 4,5. Dengan nilai EC dan pH yang sedemikian tersebut maka EC dan pH yang kita gunakan sudah bisa dibilang cukup untuk budidaya kailan (Sayuran) walaupun EC 1,8 bukan EC yang ideal untuk tanaman sayuran. Artinya EC tersebut tidak terlalu tinggi. Namun untuk EC paling ideal untuk tanaman sayuran adalah 2,5 - 3,2. Dengan EC tinggi berarti kepekatan larutan juga tinggi, sehingga daya serap tanaman terhadap unsur hara dari larutan juga berkurang sehingga pertumbuhan tanaman juga terhambat. Untuk pH ideal untuk hidroponik sayuran adalah 4,5 - 5,5, sehingga untuk hidroponik rakit apung ini pH tanaman ideal.
Kematian pada tanaman Sawi dapat dikategorikan penyebabnya adalah hama dan penyakit, kutu daun adalah salah satu hama yang biasanya menyerang daun Sawi, kutu ini menyerang bagian daun sehingga daun menjadi basah dan kemudian menjadi layu dan lemah, sedangkan untuk penyakitnya dapat disebabkan oleh bakteri yang menyebabakan daun Sawi menjadi bercak-bercak cokelat dan kekuningan sehingga lama-kelamaan tanaman Sawi menjadi mati.     





V . KESIMPULAN

5.1. kesimpulan
            Berdasarkan dari praktikum yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
Bahwa kami dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam melaksanakan salah satu model dalam teknologi budidaya sayuran secara hidroponik.
















DAFTAR PUSTAKA

Falah, M. A. F. 2006. Produksi Tanaman dan Makanan dengan Menggunakan Hidroponik - Sederhana hingga Otomatis -. http://io.ppi jepang.org/article .php?id=200. Diakses tanggal 17 Desember 2010.
Hartus, T. 2007 Berkebun Hidroponik secara Murah. Penebar Swadaya. Jakarta
Ridho’ah, M. dan N. R. Hidayati. 2005. Sistem Kontrol Pemberian Nutrisi pada
Hidroponik.
Sutiyoso, Y. 2003. Hidroponik Rakit Apung. Penebar Swadaya. Jakarta
Tanjung, F.A. 2007. Pengaruh Jenis Bahan Dasar Kompos dan Lama Waktu Fermentasi terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Secara Hidroponik Substrat. Skripsi S1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
.












LAPORAN PRATIKUM
DASAR-DASAR HOLTIKULTURA
BUDIDAYA TANAMAN SECARA HIDROPONIK

logo UBB putih.jpg

Disusun Oleh :
NAMA : Ridwan Diaguna
NIM : 201 1011 005
PRODI : AGROTEKNOLOGI IV




FAKULTAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN BIOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI BANGKA BELITUNG
BALUN IJUK
2012