Kearifan Lokal; Nilai Jaga Pertanian
Babel
Oleh:
Ridwan Diaguna
Mahasiswa
Jurusan Agroteknologi Universitas Bangka Belitung – Penggiat The Ilalang
Institute
Tatanan masyarakat Babel seutuhnya menggambarkan persis akan
apa yang diwariskan pendahulunya. Masyarakat Babel pada umumnya mewarisi suatu
pemahaman dan pengetahuan tersendiri dalam melihat serta memperlakukan sesuatu. Hal tersebut
mereka wujudkan dan praktekkan dalam setiap tindak laku yang berakhir kepada
kebiasaan arif dan bijaksana terhadap lingkungannya, itulah yang kita kenal
bersama dengan nilai-nilai kearifan. Sebuah tatanan nilai-nilai yang harus
terus dipelihara sebagai sebuah nilai-nilai kebaikan yang dihidup
ditengah-tengah masyarakat sebagai khasana kearifan lokal.
Sebuah kearifan yang
sangat menarik dan tentunya bernilai manfaat besar untuk dilestarikan dan terus
dijaga konsistensinya. Bagaimanakah kaitan nilai-nilai kearifan ini jika
dikaitkan dengan warisan ekonomi pendahulu masyarakat Babel?. Sedari kita
ketahui bersama bahwa masyarakat Babel sejak dahulu sudah diwariskan
nilai-nilai bertani yang sangat baik
sebagai kearifan lokal dalam dunia pertanian. kearifan berekonomi mengandalkan
sektor pertanian dengan menggabungkan komoditi perkebunan karet dan lada.
Namun saat ini kearifan tersebut sudah hampir ditinggalkan
masyarakat dan terkesan telah hilang tak berbekas. Pertanyaannya, bisakah
nilai-nilai kearifan ini kembali sebagai penopang utama ekonomi dan perlahan
meninggalkan sektor tambang yang menyumbang penurunan kualitas lingkungan yang
sangat besar.
Nilai-nilai kearifan ini perlahan mulai terlupakan, kenyataan
memperlihatkan keprihatinan kita bersama bahwa masyarakat Babel terlibat aktif
dalam kegiatan menurunkan kualitas lingkungan. Akhirnya menjadi sangat penting
melibatkan petani sebagai upaya mengembalikan dan melestraikan nilai-nilai
kearifan lokal. Petani berperan sangat besar untuk melestarikan nilai-nilai
kearifan lokal dalam dunia pertanian.
Memang tidak bisa dipungkiri juga bahwa derasnya ekspansi
perkebunan sawit turut andil didalam melemahkan kearifan lokal ini. Padahal
memungkinkan sekali ekspansi ini hanya
akan mempertegas dan membuat nyata kekhawatiran kita bersama selama mengenai
petani di Babel. Ekspansi yang berakhir menjadikan bertani seperti pada masa
penjajahan karena menjadi buruh di tanah sendiri.
Masyarakat seolah
dipaksa dengan halus untuk terus meninggalkan karet-lada, dengan
ketidakberpihakkan kebiijakan
pemerintah. Bentuk ketidakberpihakkan ini bisa kita liat dengan muda
mulai dari ketersediaan bibit, pupuk, penjualan hasil hingga dengan mudahnya
perizinan perkebunan swasta besar dikeluarkan untuk menguasai dan merebut
setiap jengkal tanah yang dimiliki petani. Lebih celakanya, terkadang pemutus
kebijakan ini acap sekali tidak konsisten dengan program-program yang telah
mereka susun dan laksanakan.
Keadaan ini semua tentu semakin memperburuk citra pertanian
dimata generasi muda. Sehingga muncullah persepsi baru bahwa berprofesi menjadi
petani adalah salah satu bentuk kegagalan. Tidaklah mengherankan jikalau saat
ini generasi muda tidak lagi banyak dilirik oleh generasi muda dan banyak
ditinggalkan, bahkan jikalau ada hanya sebagai sambilan.
Masyarakat lebih memilih menjadi buruh tambang timah atau
pekerjaan yang lain karena mereka beranggapan pekerjaan itu lebih menjanjikan
dan tak beresiko merugi dibandingkan jika mereka menjadi petani. Apabila
keadaan ini dibiarkan terus-menerus terjadi, maka krisis brand Bangka Belitung
“Mentok white peper” akan semakin parah karena bumi serumpun sebalai ini tak lagi
mampu memproduksi lada putihnya. Mau tak mau, pemangku kebijakan Babel harus
mengantisipasi secara serius berbagai peringatan tersebut. Tanpa antisipasi
yang serius, boleh jadi gejolak krisis atau bahkan hilangnya lada putih ini
akan menjelma menjadi bola liar yang sangat membahayakan kelangsungan hidup hajat
hidup masyarakat banyak di Babel.
Satu-satunya jalan keluar atas masalah diatas adalah merekonstruksi
secara perlahan arah pembangunan ekonomi lokal daerah. Bangka Belitung dalam
hal ini pemangku jabatan berkepentingan harus sesegera mungkin menjadikan
kembali sektor pertanian sebagai lokomotor penggerak perekonomian lokal negeri
timah. Pemangku keputusan negeri ini sudah harus berpikir keras menyiapkan sebuah
formula solutif. Berikut sedikit ulasan dan paparan gagasan berpikir penulis
sebagai salah satu generasi yang dilahirkan ditengah-tengah keluarga berprofesi
petani.
Tata Laku Tani Hijau
Bertata laku tani berbasiskan kearifan lokal yang dimiliki
bisa menjadi pilihan realistis meghadapi realitas yang ada. Keterlibatan aktif
pemegang tanpuk kebijakan sangat besar perannya dalam mewujudkan gagasan ini. Tata
laku tani hijau mejadi sebuah keharusan agar petani menjadi mandiri dan tidak
mengrurangi tingkat ketergantungan akan pupuk kimia dan pestisida/herbisida/fungisida
sintetis. Pemanfaatan beberapa daun tanaman lokal bisa menjadi solusi
pengendalian hama dan penyakit pada tanaman yang dibudidayakan, contonhyan daun
sirih, pepaya, merapin, serta ekstrak jahe yang saat ini banyak diteliti
dibeberapa perguruan tinggi. Hasil-hasil penelitian pada perguruan tinggi ini
bisa diberikan kepada petani melalui bantuan pemerintah (Penyuluh) untuk
membantu petani, memberikan kesempatan Perguruan Tinggi melaksanakan Dharma
Bakti serta mewujudkan konsep tata laku tani
hijau.
Mengutamakan
Karet-Lada
Mendukung pola pertanian berbasiskan perkebunan karet dan
lada menjadi besar manfaatnya. Pola pertanian ini penulis pikir menjadi sebuah
pola tepat untuk mengatasi permasalahan petani mengenai modal dalam
membudidayakan ladanya. Melalui pola ini, petani akan beraktivitas pada kebun
karetnya mulai pagi hari untuk menyadap karet hingga pertengahan hari, untuk
kemudian dilibatkan sampai sore untuk merawat kebun ladanya. Solusi cantik dan
indah yang sebenarnya telah mengakar dikehidupan masyarakat Babel sebagai
warisan kearifan lokal.
Melalui pola ini petani akan menjadikan kebun karetnya
menjadi sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya yang bersifat
pokok serta membiayai usaha kebun ladanya. Hal ini terus dilakukan, hingga saat
kebun ladanya panen, hasil panen ini akan dijadikan sumber pendapatan untuk
kebutuhan sekunder serta tersier. Pendapatan dari kebun lada inilah yang akan
dijadikan sebagai modal untuk menyekolahkan anak, membangun rumah, membeli
kendaraan (sepeda motor ataupun mobil), serta kebutuhan lainnya. Bisa
disimpulkan bahwa melalui pola ini petani menjadikan kebun lada yang mereka
usahakan sebagai investasi dari hasil kebun karet.
Untuk mewujudkan suksesnya pola ini tentu bergantung sekali
kepada peran besar yang ada di tangan pemangku kebijakan. Peran besar ini
berupa kebijakan unutk memberikan jaminan kepastian harga jual yang
menguntungkan bagi produk yang dihasilkan petani (karet-lada). Kepastian harga
jual yang memadai akan berpengaruh sangat signifikan terhadap kegairahan petani
dalam mensukseskan pola ini. Nilai manfaat yang diperoleh selain mengembalikan
sektor pertanian sebagai lokomotif utama sokong perekonomian lokal, tentunya
juga seklaigus mengembalikan eksistensi perkebunan lada dan brand Bangka
Belitung “Mentok White Peper” di
perdagangan internasional.
Semoga apa yang penulis gagas dan ulas menjadi sebuah bahan
perenungan bersama. Kita semua tentu berkeyakinan sama bahwa kaerifan lokal
yang melekat pada sektor pertanian akan sangat mampu dan apik untuk menjadikan
kembali pertanian jadi sokong utama perekonomian lokal kita. Semoga saja.