Laman

Selasa, 22 Oktober 2013



Kearifan Lokal; Nilai Jaga Pertanian Babel

Oleh:
Ridwan Diaguna
Mahasiswa Jurusan Agroteknologi Universitas Bangka Belitung – Penggiat The Ilalang Institute
Tatanan masyarakat Babel seutuhnya menggambarkan persis akan apa yang diwariskan pendahulunya. Masyarakat Babel pada umumnya mewarisi suatu pemahaman dan pengetahuan tersendiri dalam melihat  serta memperlakukan sesuatu. Hal tersebut mereka wujudkan dan praktekkan dalam setiap tindak laku yang berakhir kepada kebiasaan arif dan bijaksana terhadap lingkungannya, itulah yang kita kenal bersama dengan nilai-nilai kearifan. Sebuah tatanan nilai-nilai yang harus terus dipelihara sebagai sebuah nilai-nilai kebaikan yang dihidup ditengah-tengah masyarakat sebagai khasana kearifan lokal.
 Sebuah kearifan yang sangat menarik dan tentunya bernilai manfaat besar untuk dilestarikan dan terus dijaga konsistensinya. Bagaimanakah kaitan nilai-nilai kearifan ini jika dikaitkan dengan warisan ekonomi pendahulu masyarakat Babel?. Sedari kita ketahui bersama bahwa masyarakat Babel sejak dahulu sudah diwariskan nilai-nilai bertani yang sangat  baik sebagai kearifan lokal dalam dunia pertanian. kearifan berekonomi mengandalkan sektor pertanian dengan menggabungkan komoditi perkebunan karet dan lada.
Namun saat ini kearifan tersebut sudah hampir ditinggalkan masyarakat dan terkesan telah hilang tak berbekas. Pertanyaannya, bisakah nilai-nilai kearifan ini kembali sebagai penopang utama ekonomi dan perlahan meninggalkan sektor tambang yang menyumbang penurunan kualitas lingkungan yang sangat besar.
Nilai-nilai kearifan ini perlahan mulai terlupakan, kenyataan memperlihatkan keprihatinan kita bersama bahwa masyarakat Babel terlibat aktif dalam kegiatan menurunkan kualitas lingkungan. Akhirnya menjadi sangat penting melibatkan petani sebagai upaya mengembalikan dan melestraikan nilai-nilai kearifan lokal. Petani berperan sangat besar untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam dunia pertanian.
Memang tidak bisa dipungkiri juga bahwa derasnya ekspansi perkebunan sawit turut andil didalam melemahkan kearifan lokal ini. Padahal memungkinkan sekali ekspansi ini  hanya akan mempertegas dan membuat nyata kekhawatiran kita bersama selama mengenai petani di Babel. Ekspansi yang berakhir menjadikan bertani seperti pada masa penjajahan karena menjadi buruh di tanah sendiri.
 Masyarakat seolah dipaksa dengan halus untuk terus meninggalkan karet-lada, dengan ketidakberpihakkan kebiijakan  pemerintah. Bentuk ketidakberpihakkan ini bisa kita liat dengan muda mulai dari ketersediaan bibit, pupuk, penjualan hasil hingga dengan mudahnya perizinan perkebunan swasta besar dikeluarkan untuk menguasai dan merebut setiap jengkal tanah yang dimiliki petani. Lebih celakanya, terkadang pemutus kebijakan ini acap sekali tidak konsisten dengan program-program yang telah mereka susun dan laksanakan.
Keadaan ini semua tentu semakin memperburuk citra pertanian dimata generasi muda. Sehingga muncullah persepsi baru bahwa berprofesi menjadi petani adalah salah satu bentuk kegagalan. Tidaklah mengherankan jikalau saat ini generasi muda tidak lagi banyak dilirik oleh generasi muda dan banyak ditinggalkan, bahkan jikalau ada hanya sebagai sambilan.
Masyarakat lebih memilih menjadi buruh tambang timah atau pekerjaan yang lain karena mereka beranggapan pekerjaan itu lebih menjanjikan dan tak beresiko merugi dibandingkan jika mereka menjadi petani. Apabila keadaan ini dibiarkan terus-menerus terjadi, maka krisis brand Bangka Belitung “Mentok white peper” akan semakin parah karena bumi serumpun sebalai ini tak lagi mampu memproduksi lada putihnya. Mau tak mau, pemangku kebijakan Babel harus mengantisipasi secara serius berbagai peringatan tersebut. Tanpa antisipasi yang serius, boleh jadi gejolak krisis atau bahkan hilangnya lada putih ini akan menjelma menjadi bola liar yang sangat membahayakan kelangsungan hidup hajat hidup masyarakat banyak di Babel.
Satu-satunya jalan keluar atas masalah diatas adalah merekonstruksi secara perlahan arah pembangunan ekonomi lokal daerah. Bangka Belitung dalam hal ini pemangku jabatan berkepentingan harus sesegera mungkin menjadikan kembali sektor pertanian sebagai lokomotor penggerak perekonomian lokal negeri timah. Pemangku keputusan negeri ini sudah harus berpikir keras menyiapkan sebuah formula solutif. Berikut sedikit ulasan dan paparan gagasan berpikir penulis sebagai salah satu generasi yang dilahirkan ditengah-tengah keluarga berprofesi petani.
 Tata Laku Tani Hijau
Bertata laku tani berbasiskan kearifan lokal yang dimiliki bisa menjadi pilihan realistis meghadapi realitas yang ada. Keterlibatan aktif pemegang tanpuk kebijakan sangat besar perannya dalam mewujudkan gagasan ini. Tata laku tani hijau mejadi sebuah keharusan agar petani menjadi mandiri dan tidak mengrurangi tingkat ketergantungan akan pupuk kimia dan pestisida/herbisida/fungisida sintetis. Pemanfaatan beberapa daun tanaman lokal bisa menjadi solusi pengendalian hama dan penyakit pada tanaman yang dibudidayakan, contonhyan daun sirih, pepaya, merapin, serta ekstrak jahe yang saat ini banyak diteliti dibeberapa perguruan tinggi. Hasil-hasil penelitian pada perguruan tinggi ini bisa diberikan kepada petani melalui bantuan pemerintah (Penyuluh) untuk membantu petani, memberikan kesempatan Perguruan Tinggi melaksanakan Dharma Bakti serta mewujudkan konsep tata laku tani  hijau.
Mengutamakan Karet-Lada
Mendukung pola pertanian berbasiskan perkebunan karet dan lada menjadi besar manfaatnya. Pola pertanian ini penulis pikir menjadi sebuah pola tepat untuk mengatasi permasalahan petani mengenai modal dalam membudidayakan ladanya. Melalui pola ini, petani akan beraktivitas pada kebun karetnya mulai pagi hari untuk menyadap karet hingga pertengahan hari, untuk kemudian dilibatkan sampai sore untuk merawat kebun ladanya. Solusi cantik dan indah yang sebenarnya telah mengakar dikehidupan masyarakat Babel sebagai warisan kearifan lokal.
Melalui pola ini petani akan menjadikan kebun karetnya menjadi sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya yang bersifat pokok serta membiayai usaha kebun ladanya. Hal ini terus dilakukan, hingga saat kebun ladanya panen, hasil panen ini akan dijadikan sumber pendapatan untuk kebutuhan sekunder serta tersier. Pendapatan dari kebun lada inilah yang akan dijadikan sebagai modal untuk menyekolahkan anak, membangun rumah, membeli kendaraan (sepeda motor ataupun mobil), serta kebutuhan lainnya. Bisa disimpulkan bahwa melalui pola ini petani menjadikan kebun lada yang mereka usahakan sebagai investasi dari hasil kebun karet.
Untuk mewujudkan suksesnya pola ini tentu bergantung sekali kepada peran besar yang ada di tangan pemangku kebijakan. Peran besar ini berupa kebijakan unutk memberikan jaminan kepastian harga jual yang menguntungkan bagi produk yang dihasilkan petani (karet-lada). Kepastian harga jual yang memadai akan berpengaruh sangat signifikan terhadap kegairahan petani dalam mensukseskan pola ini. Nilai manfaat yang diperoleh selain mengembalikan sektor pertanian sebagai lokomotif utama sokong perekonomian lokal, tentunya juga seklaigus mengembalikan eksistensi perkebunan lada dan brand Bangka Belitung “Mentok White Peper” di perdagangan internasional.
Semoga apa yang penulis gagas dan ulas menjadi sebuah bahan perenungan bersama. Kita semua tentu berkeyakinan sama bahwa kaerifan lokal yang melekat pada sektor pertanian akan sangat mampu dan apik untuk menjadikan kembali pertanian jadi sokong utama perekonomian lokal kita. Semoga saja.



Bijak Ekstensifikasi;
(Salah Kaprah Ekstensifikasi Pertanian)

Oleh : Ridwan Diaguna
Mahasiswa Jurusan Agroteknologi – Universitas Bangka Belitung
Sektor pertanian memang menjadi masalah yang memerlukan perhatian yang sangat serius, mendalam dan kesungguhan disertai program bagus dan kinerja apik. Tahun ke tahun masalah pertanian semakin serius dibicarakan, hal ini dikarenakan pertambahan populasi penduduk yang tidak sesuai dengan pertumbuhan areal pertanian untuk memenuhi kebutuhan akan produk pertanian. Kebutuhan akan produk pertanian menjadi sangat penting dalam semua aktiftas manusia, tanpa hasil pertanian manusia tidak akan bisa beraktifitas maksimal dengan tenaganya (fisik), pikirannya (otak) serta rohaninya (religi).
Pemerintah menyadari betul akan titik masalah yang harus segera diselesaikan ini, upaya pemenuhan dan peningkatan produksi produk pertanian pun tak luput dilakukan. Upaya ini dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi. Kedua upaya ini di yakini betul oleh pemegang dan pemutus kebijakan mampu memenuhi kebutuhan besar masyarakatnya akan eksistensi produk pertanian untuk kelangsungan kehidupan.
Sejauh ini, yang sangat kentara sekali di rasakan di tengah-tengah masyarakat adalah melalui upaya ekstensifikasi. Ya, ekstensifikasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan urgensi akan hasil pertanian dengan melakukan perluasan areal pertanian ke wilayah yang belum dimanfaatkan manusia.
Menjadi penting kiranya untuk melihat dan mempertimbangkan pelaksanaan ekstensifikasi ini dalam upaya  memastikan keberlanjutan dan keseimbangan ekologis? Kita tentu tidak merestui dan merelakan ekstensifikasi yang dilakukan hanya sekedar untuk memperkaya korporasi yang akan menjadikan pribumi menjadi buruh di negeri sendiri. Karena kita tidak bisa memungkiri ekstensifikasi ini akan menimbulkan dampak banyak aspek dalam kehidupan.
Pembukaan lahan areal pertanian baru di sejumlah daerah di Bangka Belitung saat ini menjadi bukti nyata usaha ekstensifikasi. Selain ekstensifikasi lahan pertanian pangan, ekspansi ekstensifikasi perkebunan swasta sangat nyata sekali dirasakan dalam penggunaan lahan baru yang cenderung tidak lagi arif dan bijaksana. Menurut hemat penulis ekstensifikasi bisa dilakukan tidak hanya melalui program kementerian. Selain mengikuti program pemerintah esktensifikasi juga bisa dilakukan secara perorangan secara mandiri, berkesinambungan dan tidak luput peran pemerintah dalam melakukan pengawasan. Kita tentu  bertanya, spesifiknya ekstensifikasi itu apa?
Ekstensifikasi
Ekstensifikasi pertanian dalam hal ini pangan banyak sekali macamnya tergantung tempat dan lahan yang akan digunakan. Pada dasarnya, perluasan areal ini ditujukan untuk memperoleh hasil produksi pertanian yang memadai serta memanfaatkan potensi lahan yang belum termanfaatkan. Intinya adalah optimalisasi potensi areal untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Ekstensifikasi ini dapat dilakukan dengan pembukaan hutan baru, pembukaan lahan kering, serta pembukaan lahan gambut. Ekstensifikasi dengan metode pembukaan hutan baru sudah tidak asing lagi dalam dunia pertanian karena sudah diterapkan jauh sebelum peradaban modern saat ini  yakni metode pertanian ladang  berpindah. Ekstensifikasi lainnya dapat dilakukan dengan  memanfaatkan lahan kering untuk di buka menjadi lahan baru pertanian, resikonya membutuhkan teknis pengolahan dan biaya yang lebih intensif. Selain kedua cara ini, ekstesifikasi juga bisa dilakukan dengan pembukaan lahan gambut yang sangat subur dan berair (penerapannya di Sumatera dan Kalimantan).
Dampak Ekstensifikasi
Terlepas dari tingginya akan permintaan terhadap kebutuhan akan hasil pertanian untuk memastikan kelangsungan hidup masyarakat, kita juga perlu menyadari dampak negatifnya. Selain dampak positif berupa peningkatan produksi pertanian juga ada dampak negative yang akan ditimbulkan dari ekstensifikasi ini. Rusaknya ekosistem pada lahan-lahan tertentu dan berkurangnya habitat alami hewan di alam menjadi dampak yang paling serius akan kita hadapi akibat ekstensifikasi yang salah kaprah.
Pembukaan lahan-lahan belum termanfaatkan (hutan, lahan gambut) untuk basis daerah pertanian baru tentunya akan merubah bahkan merusak tatanan keseimbangan ekosistem disekitarnya. Kegiatan bercocok tanam serta pemukiman baru petani tentunya akan berdampak kepada terganggunya populasi dan hewan di sekitar areal tersebut. Selain itu peran hutan sebagai sumber produksi oksigen terbesar bagi kehidupan akan ikut terpengaruh. Seperti kita ketahui bersama betapa besarnya peran hutan-hutan tersebut sebagai penyerap karbon dan produksi oksigen.
Dampak negative lainnya berupa terganggunya habitat hewan yang tinggal dan hidup di alam, atau bahkan tersingkir ke tempat (habitat) yang lebih jauh. Tidak mengherankan sekali jika banyak hewan-hewan liar yang masuk  dan mengganggu tanaman budidaya pada areal budidaya, hal ini dikarenakan mereka kelaparan dan hilangnya habitat mereka oleh ekstensifikasi gelap mata ini.
Oleh karenanya besar harapan penulis agar pemegang tampuk kebijakan lebih arif dan bijak dalam merestui agenda ekstensifikasi ini. Jangan sampai pemilik tanda tangan perizinan dengan getolnya membubuhi tanda tangan pertanda restu ekstensifikasi yang mengarah menguntungkan pemodal dan cenderung mengganggu keberlanjutan ekosistem demi kemakmuran beberapa korporasi. Hendaknya lah “ngebukak utan” ini dilakukan  dengan memperhatikan keseimbangan dan keselarasan perubahan alam maupun ekosistem yang ada, sehingga ekstensifikasi ini menjadi bermanfaat dan tidak merusak alam sehingga ekstensifikasi pertanian tidak lagi disalah kaprahkan.